no anak imman yogyakarta

abd basit  : 085863866187

adib           : 085724373316

afif              : 081947322950

akrom       : 087727048328

m.nur ali : 087828736280

aniz           : 085724614616

ayu s        : 08562885737

dewi         : 085224306602

faqih        : 087839829624

fatoni      : 087839563321

fauzan     : 081392210006

hara         : 085643314711

iis sugrti : 085224442264

iha             : 081313545668

iis lkman : 081912987205

imas         : 082138407187

lia              : 081392069663

lukman   : 085235311865

maulana  : 085224118675

ade syarifah : 085324017422

huriyah        : 085726982905

mega             : 085227882340

mumun stikes : 085295783323

nanang        : 087839770386

ade nasruddin : 087829020582

nawawi         : 085797530055

neneng         : 085729301817

nurlatifah    : 087823288059

oji                  : 081911300905

rusmini       : 085729751318

samani        : 081392086608.   085216127576

samsul        : 087838939371

soleh           : 081229413731

tuha            : 085295958008

umar          : 085743274425

ye2n          : 085222138771

yu2n         : 085643530538

endang    : 08562639031

Faktor Pendukung Terbentuknya Radikalisme dan Terorisme di Inodnesia


Endang Supriadi[1]

Abstraksi

Pada banyak Negara di Dunia Ketiga, fenomena yang multi sebab dan berlogika sirkular di mana hubungan sebab akibat, factor-faktor yang ada sering bertukar balik. Terdapat dua sebab utama dan satu sebab tambahan fenomena terorisme, yakni doktriner, social dan politik. Yang pertama mengacu kepada adanya bentuk-bentuk keberagaman tertentu yang non kompromis dan cenderung kepada kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Yang kedua menjelasakan bahwa pola keberagaman tersebut pada gilirannya seringkali merupakan produk dari factor social yang ada tertutama berbagai bentuk penderitaan yang terjadi di dunia Islam. Sedangkan yang ketiga, bahwa hubungan kausal antara teror dan doktrin radikal serta doktrin tersebut dengan penderitaan social tidak selalu berlangsung secara alami, melainkan kadangkala juga “direkayasa” oleh pihak tertentu untuk kepentingan sepihak. Faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Setiap bentuk teror amat berlawanan dengan ajaran agama apa pun, karena semua agama menekankan arti penting persaudaraan, perdamaian, dan tanggung jawab bersama untuk memelihara dan menjaga kehidupan. Tindakan teror yang dilakukan oleh seseorang yang beragama Islam tidak dengan sendirinya berkaitan dengan agama Islam. Karena itu terorisme yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tidak bisa dialamatkan pada kesalahan agama yang dipeluknya, apa pun agama orang itu, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Sinto dan yang lainnya. Apa pun yang terjadi sekarang merupakan tugas kita untuk menghadapi semua itu, ada nosi-nosi yang mengakibatkan hal itu terjadi. Sosial-hostoris yang khas, yang memiliki pandangan dan perilaku politik berbeda dengan kebanyakan Muslim yang lain melakukan teror menggunakan non-konvensional, dengan sasaran yang juga semakin imajinatif. Sementara kalangan umat Muslim menerima argument konspirasi, bahwa terorisme adalah bualan Amerika dan Yahudi untuk memojokan Islam. Dalam perspektif inilah, artikel disajikan untuk menelaah secara sosial-budaya kasus doktrin terhadap agama dan factor pendukung terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Kata Kunci: Doktrin Agama, Fenomena Sosial, Politik, dan Amerika.

  1. A.  Pendahuluan

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, masalah terorisme di Indoneisa menjadi problem social yang membutuhkan perhatian kita, terutama dimata Dunia yang mengecam teroris adalah musuh kita yang harus kita perangi. Istilah terorisme pertama kali muncul dalam Revolusi Prancis 1789-1797 dan dalam jangka lama ia digunakan untuk mendefinisikan kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Terorisme adalah segala hal yang merupakan penindasan kebebasan pribadi individu oleh partai yang berkuasa atau rezim militer. Semua perbuatan terorisme melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan dan sering diikuti dengan tuntutan spesifik. Kekerasan tersebut umumnya diarahkan kepada sasaran sipil dengan motif politis.

Perbuatan teror dilaksanakan dengan cara yang bisa menciptakan efek publikasi maksimum. Pelakunya biasanya adalah anggota kelompok terorganisasi dan memiliki tujuan yang dianggap mulia dan tindakan itu dimaksud menghasilkan efek yang melampaui kerusakan fisik saat peristiwa. Pada tanggal 12 Oktober 2001 terjadi pengeboman Bali[2] dan serangan terror 11 September 2001 atas Twin Tower World Trade Center di pusat kota New York, Amerika[3].

Agama menjadi sumber utama seseorang dikala mengalami problem dalam hidupnya. Setiap agama mempunyai tata cara atau ritual tersendiri yang lahir dari kombinasi antara kehidupan spiritual dan materialistic. Agama bukan suatu hal yang langka dalam kehidupan kita sebagai makhluk sosial, tetapi sesuatu yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Agama merupakan instrument dalam realitas kehidupan sosial manusia[4].

Islam adalah agama perdamaian dan keselamatan, secara literal berarti pasrah kepada Tuhan dan kedamaian. Kedamaian dalam Islam mengacu pada kondisi batin yang ada pada individu Muslim yang berusaha mengetahui dan menjalankan kehendak Tuhan. Perjalanan hidup seseorang tidak lepas dengan permasalahan yang dihadapi. Sampai sekarang tidak hanya manusia yang mengalami problem melainkan agama pun mengalami hal seperti itu bahkan jauh lebih ekstrim karena menyangkut keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.

  1. B.  Pengertian dan Faktor Terbentuknya Terorisme

Banyak factor yang sama turut andil bagi dimulainya terorisme juga mempengaruhi bentuk terorisme yang akan terjadi. Terorisme  adalah kejadian saat ini yang sensasional, yang berarti bahwa ketika kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan riset ilmiah bertambah, maka bertambah pula ketidaknyamanan yang menyertai saat menjadi pusat kontrovensi yang hebat dan kadang-kadang dilakukan dengan cara yang tidak bertanggungjawab.

Terorisme bukanlah satu-satunya cara menuju tujuan-tujuan radikal dan dengan demikian ia harus dibandingkan terhadap strategi-strategi alternatif yang tersedia bagi pihak tertentu.[5] Terorisme merupakan masalah yang kompleks, penyebabnya beragam dan orang-orang yang terlibat di dalamanya lebih beragam lagi. Semua ini tidak luput dengan factor dan motivasi tiap tindakan individu atau kelompok teroris dan harus memperhitungkan keberagaman yang bergitu banyak ini.

Perkembangan teknologi modern telah memberikan keleluasan akses yang luar biasa dan pada titik inilah kajian mengenai terorisme dari segi social menjadi hal batu yang penting. Adapun factor yang mendorong terbentuknya terorisme adalah ekonomi, social, dan ideologi[6]. Penulis melihat terorisme yang ada di Indonesia yang semakin maraknya terjadi di mana-mana.

Tidak mudah membasmi gerakan keras di negeri kita tercinta. Organisasi semacam Jama`ah Islamiyah atau yang sering kita dengar sekarang adalah Tanzim al-Qaidah di Aceh dengan mudah merekrut anggotanya dari berbagai penjuru. Bahkan tempat yang penuh dengan besi (penjara) bukan tempat yang ditakutkan, melainkan bisa menjadi tempat yang nyaman buat para pengikutnya.

Awal bulan Ramadhan merupakan salah satu contoh konkrit. Dia ditangkap Densus 88 Anti teroris tiga pekan lalu di Aceh. Wahyu Hidayat lulusan sekolah tinggi pemerintahan dalam negeri  yang dihukum satu setengah tahun karena ikut menganiaya adik kelasnya hingga tewas. Semasa dipenjara ia mengikuti ceramah Aman Andurrahman, terpidana kasus bom Cimanggis 2004. Dalam sedetik, ia berubah menjadi pengikut. Semuanya tidak dikenal, ia menolak bertemu dengan ibunya.

Sistem yang ada dipenjaraan di negeri ini terbukti tidak bisa meredam para terorisme. Sebagian tersangka ditangkap di Aceh adalah mantan terpidana kasus terorirsme. Mereka membentuk kelompok baru dan melakukan hal yang sama. Dalam hal ini para tersangka yang ditangkap ada dua pola dasar dalam perekrutan, yakni; pertama, hubungan kekeluargaan , missal Ali Gufron dengan adiknya Amrozi dan Ali Imron, ini yang berkata fakta. Mereka tersangka pengeboman Bali 12 Oktober 2001, seperti Ghofron dan Amrozi dieksekusi hukuman mati sedangkan Ali berbeda yang menjalani hukuman seumur hidup.

Cara perekrutan kedua dilakukan antara guru dan murid keduanya mempunyai hubungan intim. Seperti kelompok tersangka dalam kasus lain direkrut guru mereka di Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah.  Di tengah-tengah gejolak seperti ini  media penyebar radikalisme beredar diseluruh penjuru kota yang ada di Indonesia. Video berisikan jihad mudah didapat di media-media terutama Internet. Para penceramah radikalisme juga bebas berbicara di mana-mana. Janji manis yang mengatakan kepastian masuk surga ternyata laku dijual sebagai daya tarik, jalannya pun mulus dengan rapi tanpa beban yang semuanya bercita-cita ingin membersihkan system yang kufur dan batil.

Maka dengan demikian ada dua pekerjaan besar yang bisa dilakukan untuk menangkal paham tersebut supaya tidak tumbuh membesar. Pertama, aksi-aksi penawar radikalisme perlu digiatkan. Kampanye tentang bahaya radikalisme, seperti halnya gerakan antinarkotika bisa dilakukan. Sistem kelompok keluarga sangat berperan besar dalam mempertebal  toleransi dan bersedia menerima perbedaan agar ideology tidak ditafsirkan secara sempit dan akhirnya berakibat deskrutif. Pekerjaan besar kedua adalah harus dilakukan pemerintah yakni merumuskan rehabilitasi yang tepat bagi para terpidana terorisme.

Tercatat polisi telah menangkap 452 tersangka kasus terorirsme sejak 2000-an. Hal utama yang harus diperhatikan adalah memastikan penjara tidak dijadikan seperti pesantren baru yang menghasilkan para kelompok radikal. Sangat disayangkan para terpidana leluasa memainkan ponselnya untuk mencari anggota baru. Ada pula sebagai alat ceramah di dalam sel penjara.

Badan Penanggulangan Terorisme yang akan dibentuk pemerintah semestinya berperan besar dalam proses pelumpuhan radikalisme ini. Badan ini bisa bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial, juga tidak ketinggalan Psikolog untuk melakukannya. Dan melibatkan teman sepaham untuk membantu deradikalisasi. Gerakan radikal tidak mungkin dibunuh sama sekali, terutama di negeri yang penuh dengan celah hukum seperti Indonesia. Tertangkapnya warga Negara asing atau aliran dana dari Negara lain merupakan bukti nyata. Tidak ada jalan lain. Pemerintah, juga kita semua perlu terlibat dalam usaha menangkal paham radikal, agar tidak membesar dan meneror kita semua yang akibatnya fatal.

Menurut sebagian besar aktifis yang tergabung dalam kelompok Tanzim al-Qaidah di Aceh, factor-faktor pendorong terbentuknya radikalisme dan terorisme di Indonesia bukanlah semata-mata untuk kepentingan individu. Sebab, apabila dimotivasi untuk kepentingan individu, maka semestinya hal tersebut apa yang dilakukannya dan tindakannya tidak menyakitkan baik itu diri sendiri maupun orang lain. Adapun factor-faktor yang mendorong terbentuknya terorisme;

  1. Faktor ekonomi

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa factor ekonomi merupakan motif utama bagi para terorisme dalam menjalankan misi mereka. Keadaan yang semakin tidak menentu dan kehidupan sehari-hari yang membikin resah orang untuk melakukan apa saja. Dengan seperti ini pemerintah harus bekerja keras untuk merumuskan rehabilitasi masyarakatnya. Kemiskinan membuat orang gerah untuk berbuat yang tidak selayaknya diperbuat seperti; membunuh, mengancam orang, bunuh diri, dan sebagainya.

  1. Faktor social

Orang-orang yang mempunyai pikiran keras di mana di situ terdapat suatu kelompok garis keras yang bersatu mendirikan Tanzim al-Qaidah Aceh. Dalam keseharian hidup yang kita jalani terdapat pranata social yang membentuk pribadi kita menjadi sama. Situasi ini sangat menentukan kepribadian seseorang dalam melakukan setiap kegiatan yang dilakukan. Sistem social yang dibentuk oleh kelompok radikal atau garis keras membuat semua orang yang mempunyai tujuan sama dengannya bisa mudah berkomunikasi dan bergabung dalam garis keras atau radilak.

  1. Faktor Ideologi

Faktor ini yang menjadikan seseorang yakin dengan apa yang diperbuatnya. Perbuatan yang mereka lakukan berdasarkan dengan apa yang sudah disepakati dari awal dalam perjanjiannya. Dalam setiap kelompok mempunyai misi dan visi masing-masing yang tidak terlepas dengan ideologinya. Dalam hal ini terorisme yang ada di Indonesia dengan keyakinannya yang berdasarkan Jihad yang mereka miliki.

Berbicara terorisme tidak lepas dengan kekerasan atau radikalisme, dari zaman revolusi Prancis sampai sekarang kekerasan terus bermunculan di mana-mana. Dunia ke-tiga menjadi central kekerasan yang dilakukan oleh para terorism.

 

 


          [1]   Mahasiswa Sosiologi Agama Fak. Ushuluddin. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

        [2]   Angkatan Baru Penebar Teror. Dalam Tempo. (Maret, ). Jakarta.

        [3]  Merupakan momen penting bagi bangsa Amerika dan masyarakat dunia, sekaligus juga menandai babakan baru sejarah terorisme. Ketika pemerintah Amerika mengumumkan secara resmi bahwa serangan itu dilakukan oleh orang-orang Muslim dan didukung sebuah “Negara Islam”, maka “perang melawan teroris” berubah menjadi pemenuhan ramalan bentrokan antara Amerika dan dunia Islam.

       [4]   Peter L. Berger, Langit Suci Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono. (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm 40.

       [5]   Walter Laqueur, Origins of Terorism, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 8

       [6]    Faktor ini dapat menjelaskan perilaku kelompok besarnya, tetapi seringkali tidak dapat menjelaskan tindakan yang dilakukan oleh beberapa gelintir orang saja. Penampakan lainnya ditandai oleh meningkatnya fanatisme meskipun bukan merupakan hal baru bagi para pemerhati terorisme, tetapi semakin penting dalam tahun-tahun terakhir ini dibandingkan terhadap hal yang lain.

student government: peran mahasiswa dalam menjawab problematika sosial

Student Government : Peran Mahasiswa dalam Menjawab Problematika Sosial

Oleh : Endang Supriadi

Lembaga Kemahasiswaan yang ada di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini berperan penting dalam menampung aspirasi masyarakat kampus dalam hal ini mahasiswa yang sering kita dengar dengan sebutan student government. Lembaga ini diartikan sebagai suatu system kekuasaan yang diperoleh mahasiswa, dari mahasiswa melalui pemilihan umum atau melalui mekanisme lain untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan rakyat pada umumnya. Kalau kita pahami sejenak lembaga ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di pemerintahan kita, yang mana student government ini dianalogikan sebagai miniatur Negara yang di situ ada pemerintahan dan rakyat serta keberadaannya diakui.

Dalam dunia kampus kita sering menemukan atau melakukan pembacaan secara kritis tentang realitas-relitas yang ada di kampus. Dengan adanya lembaga kemahasiswaan inilah yang memberikan ruang untuk proses perjalanan mahasiswa melakukan berdialetika, mediasi mahasiswa dengan birokrat kampus serta untuk memperkuat ruang bargaining position dengan pihak birokrat kampus.

Student government ini berkiprah secara tidak langsung yang menyelenggarakan demokratisasi kampus yang biasa disebut Pemilu Mahasiswa (PEMILWA). Hal ini sangat diperlukan sebagai media pembelajaran politik mahasiswa. Dalam pergelaran PEMILWA  juga diatur dengan UU PEMILWA, sedangkan kalau partai politik mahasiswa diatur sendiri dalam UU Partai Politik Mahasiswa. Ajang pemilihan dikampus ini diharapkan menghasilkan para pemimpin yang progres, professional, dan konsisten memperjuangkan aspirasi mahasiswa.

Sebuah gambaran yang ada di kampus UIN Sunan Kalijaga, student government yang dijadikan sebagai kekuatan untuk mendorong kinerja yang ada di kampus. Dengan demikian ada tiga lembaga yang terserat di dalamnya seperti halnya pemerintahan bangsa kita yaitu eksekutif, yudikatif dan legislatif. Lembaga Eksekutif terdiri dari Dewan Eksekutif Mahasiswa ( DEMA ) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas/Jurusan/Program Studi ( BEMF/J/PS ), lembaga legislatif ( Senat Mahasiswa Fakultas/Universitas ) dan lembaga Yudikatif bernama Mahkamah Konstitusi Mahasiswa ( MKM ). Dan kemudian AD/RT KBMU UIN secara tegas dan jelas mengatur langsung tugas dan kewenangan lembaga-lembaga tersebut.

Student government ini merupakan ruang pembelajaran yang dialektis dan demokratis sebagai sarana aktualisasi diri. Lembaga ini dibentuk untuk menjadi penyambung aspirasi mahasiswa atau mediator mahasiswa dengan pihak birokrasi kampus untuk memperkuat posisi kampus tersebut. Di luar persoalan kampus ini, lembaga kemahasiswaan dan mahasiswa pada umumnya merupakan agen social change harus peka terhadap persoalan social masyarakat. Dengan berharap kepekaan tersebut sesering mungkin tetap diasah dan selayaknya dibarengi dengan  kritik konstruktif komprehensif yang lebih berorientasi pada problem solving sesuai dengan asas keadilan. Harapannya terjadi perubahan fundamental tata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, makmur dan sejahtera. Begitu juga ketika berbicara di kampus jangan sampai meninggalkan nilai-nilai yang sudah ditanamkan di dunia kampus, mahasiswa harus peka terhadap persoalan yang terjadi di lingkungan kampus. Dengan  demikian harapan kita semua terhadap kampus yang memediasi mahasiswa untuk melakukan kritik yang konstruktif. Peran dan tanggung jawab mahasiswa cukup besar dalam melakukan perubahan di negeri kita ini.

Dengan demikian peran dan fungsi student government sangat signifikan sebagai wadah aspirasi sekaligus tempat meramu  muatan intelektual bagi mahasiswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Keberadaan student government bagi mahasiswa dinarasikan sebagai ruang dialetika, mediator antara mahasiswa dengan birokrat kampus, pengkritik konstruktif, dan sebagai sarana belajar. Dan yang harus dipegang dan memahami konsekuensinya  orang-orang yang duduk di pemerintahan mahasiswa harus bersedia sebagai penyambung lidah mahasiswa kebanyakan demi menyuarakan suara rakyat (mahasiswa) yang diwakilinya. Terima kasih  (E.S).

Mengkaji Ulang Keberagamaan di Indonesia

Reviewer by: Taufiq Azlaf Hidayatillah[1]

Peter L. Berger, telah banyak memberikan gambaran mengenai  pluralitas kehidupan sosial, antara lain kemajemukan budaya, kemajemukan kehidupan beragama serta munculnya identitas individu dalam kehidupan sosial.   Pada artikel CRCS UGM tentang  Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010, reviewer ingin  mencoba menghubungkan masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural dengan apa yang telah disampaikan oleh Berger.  Pada dasarnya Masyarakat Indonesia merupakan  masyarakat yang sangat majemuk baik itu dari segi suku, ras, agama dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, suku, budaya maupun politik seringkali menjadi potensi konflik yang tidak dapat dinafikan  di Indonesia.  Meskipun demikian hal tersebut bukanlah sesuatu yang aneh, seperti yang telah dijelaskan oleh Gertz bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik[2] diantaranya:

ANTARA AGAMA DAN HASRAT: MENJADI MUSLIM DAN GAY DI INDONESIA

Dari Antropologi, Islam, Dan Dapat Dibandingkan

Telah lama Antropologi Agama memperhatikan hubungan antara ortodoksi dan praktek serta masalah dimana keyakinan agama bisa dimengerti (Tambiah 1990). Seperti permasalahan cultural translation (Asad 1986) bahwa suatu awal yang penting bagi Antropologi adalah memahami tradisi keagamaan (Frazer 1915; Tylor 1958). Sebagai seorang  Antropolog haruslah dapat mendefinisikan ulang hal tersebut meski dalam terrna War on Terror. Bagaimana memahami isu-isu perkawinan se-jenis (Gay) yang bertentangan dengan norma sosial di Indonesia . Elizabeth Povinelli menyatakan bahwa  masalah yang ditimbulkan sebenarnya adalah konflik-konflik mendasar seperti pandangan dunia sebagai suatu commensurability (dapat dibandingkan) (povinelli 2001).

Dalam pengertian Muslim Gay yang dapat dibandingkan, tidak berarti bahwa agama-agama lain lebih toleran daripada Islam. Dalam Islam wacana tentang Gay telah ada sejak dahulu. Itulah mengapa ketika tokoh-tokoh Islam berbicara tentang homoseksualitas, hal tersebut  akan ditolak: “Homoseksual merupakan penyakit sosial, kejahatan moral yang harus dihilangkan, bukanlah Hak Asasi Manusia yang patut untuk dilindungi seperti Gay (di Barat)  dimana tidak membaginya dalam dua bagian berjasa atau berdosa”. Meskipun hal tersebut bukan zina tetapi ketika dikaitakan dengan masyarakat Islam di Indonesia, maka tidak akan diterima oleh masyarakat Indonesia maupun di negara mayoritas Muslim lainnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Abdelwahab Bouhdiba dalam bukunya Sexuality In Islam, bahwa: segala yang melanggar ketertiban dunia adalah “gangguan”. Bouhdiba menambahkan bahwa “Islam akan menentang setiap perwujudan hasrat seksual yang tidak wajar seperti Gay” (Bouhdiba 1998:31). Tetapi pendapat tersebut juga banyak ditentang oleh sebagian Muslim.

>>Baca lebih lengkap Antara Agama dan Hasrat : Menjadi Muslim dan Gay Di Indonesia

Passing Over Melintasi Batas Agama (Resensi)

passing overJudul       : Passing Over Melintasi Batas Agama
Kategori : Buku
Jenis        : Agama dan Kepercayaan
Penulis    : Nurkholish Madjid dkk
Editor      : Komarudin Hidayat
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun     : 1998
Isi             : 464 Halaman

Lanjutkan membaca Passing Over Melintasi Batas Agama (Resensi)

Ikatan Mutakhorrijin Madrasah Aliyah Negeri Ciwaringin Cirebon