My mother bore me in the southern wild,
And I’m black, but oh! my soul is white,
White as an angel is the English child,
But I am black, as if bereaved of light.
My mother taught me undernath a tree,
And sitting down before the heat of day.
She took me on her lap and kissed me,
And pointing to the east began to say:
“Look on the rising sun: there God does live.
And gives his light and gives his heat away,
and flowers and trees and beasts and men receive,
comfort in morning, joy in the noon day.
…………………( excerpt from William Blake poem)
Sahabat,
Sudah baca uisi di atas?
Memang perlu pengorbanan mbolak-balik kamus untuk mendapatkan arti teksnya. Puisi ini, secara sederhana merupakan gugahan bagi setiap manusia yang konon katanya mengagungkan sisi humanismenya. Jika, manusia tidak lagi membedakan antarsatu dengan yang lainnya, apalagi dengan menjadikan penampilan sebagai ukuran utama, maka perlu dipertanyakan, kemana ia taruh sisi human atau insaniah-nya?
Sempat berbicara dengan para sesepuh IMMAN Jogja, Pak Waryono dan Pak Iby, tentang bagaimana sebenarnya esensi dari konsep pembedaan antara sisi basyariah dan insaniah mereka. Hampir keduanya menjawab hal yang mirip: dengan ke-basyariahan-nya, manusia tak bedanya dengan makhluk Allah lainnya, binatang sekalipun, bahkan melebihi sifat ‘ganas’ binatang yang memang mempunyai karakter seperti itu. Tetapi, manusia pun punya satu sisi yang sekiranya dapat mengimbangi atau sebagai ‘partner’ sifat basyariah-nya. Insaniah. Sisi inilah yang dapt mempertegas bahwa sesungguhnya setiap manusia mempunyai sebentuk sisi humanisme di dalam dirinya. Tanpa ini, manusi tidak dapat membedakan dirinya dengan hewan, misalnya, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang mempunyai sifat insaniah.
***
Puisi yang saya dapat ketika ujian tengah semester mata kuliah Introduction to Literature, sejak awal saya baca, telah menyihir sisi insaniah saya. Betapa tidak, dengan menjadikan anak kecil berkulit hitam sebagai objek, serta kesederhanaan kata yang dipakai, puisi yang ditulis Blake tersebut merupakan puisi yang sarat akan nilai moral.
Perbedaan warna kulit, yang sempat bahkan sampai saat ini pun menjadi ‘penghalang’ dalam menjalin relasi, menjadi fokus dalam puisi tersebut. Karena memang, puisi yang di tulis ketika The Middle Periode (periode tengah), adalah bentuk ‘jeritan’ yang tak garang, dari seorang anak berkulit hitam tentang betapa menyiksanya jika dia harus dibedakan dengan yang lain. Padahal, dengan yakin ia nyatakan bahwa, “And I’m black, but oh! my soul is white” (dan aku hitam, tapi oh! hatiku putih!).
Jika kita kembali mengingat sisi insaniah kita, betapa kita telah mendustai kodrat kita serta menodai kemurnian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Kejinya politik ‘Apharteid’ yang menjamah Afrika Selatan, adalah contoh besar ketika manusia tidak sadar akan kodrat humanisnya.
Jika saja….ada seorang muslim yang berani membeda-bedakan antar manusia dari segi fisik, maka tak salah jika dia kita campur dia dengan saudara-saudaranya di hutan sana (sarkasme banget ya…). At least but not the last, tunjukkan bahwa kita adalah insan berhati nurani (bukan kampenye lho!), yang berusaha untuk tidak dimengerti, tapi mengerti akan apa yang orang lain rasakan. Putih, hitam, cantik, cakep, jelek, ah….itu semua hanya polesan saja! Kupas saja dalamnya seperti apa.
By,
Ukha Vaza