Arsip Kategori: PUISI

Hanya Seumpat Harapan

Pagi hari mengantarkanku pada pencarian ilmu.

Ketika tiba siang hari mengantarkanku pada waktu dimana ku harus mempelajari kembali ilmu yang telah ku peroleh.

Sore hari mengantarkanku pada bagaimana cara berpikir kritis dahulu sebelum mengambil keputusan.

Waktu senja mulai mengantarkan ku mengenal dunia.

Sampai tiba malam hari yang mengantarkanku pada sebuah harapan,

Hingga pada subuh hari mengantarkanku pada hembusan nafas terakhir,

sesuai dengan taqdir yang telah digariskan

Hanya untuk melihat dunia

Sekarang Tugasnya : Coba pahami maknanya?

TAK TERJAWAB

Berpucuk-pucuk daun gugur bertanya
Untuk apa kita hidup?
Hanya untuk mati, untuk hidup lagi, kah?
Lalu apakah bakal mati kembali? Tak terjawab.

Dari titisan berkisah seperti itu. Sementara
Yang tak bisa memaknai anatara hak dan batil
Takkan menjawab pasti. Hanya menengok
Dari balik pikir
Membaca tanda, menulis kisah
Membaca ramal
Takan menjawab pasti. Sebatas melihat
Tanpa memahami inti
Berulang. Sampai mati.
Sampai hidup kembali. Dengan sesal
Yang mengebiri setiap ruh yang singgah. Sebatas melihat
Tanpa memahami inti

Jogja, Mei 2010

DZIKIR PENYESALAN

Malam mati terkubur tangisku
Deru angin terisak, iba atas diriku
Temaram cahaya bulan membawaku tepat pada titik sesal yang mengucap dalam ruh
Dalam darah
Juga dalam tulang-belulang yang telah terampas
#
Meledak-ledak jantungku ketika mengingatMu
Darah terpompa deras menghujam jiwa
Jalan tak kunjung rampung kutiti menghadap dzatMu yang kekal

Jogja, Mei 2010

Menangis untuk Bangkit

Sampai kapan,

Lelap malam akan damai

Sujud di tengah hening malam bumi suci Palestina

Ledakan yang tak henti bergemuruh

mengahancurkan semua

jiwa, raga, asa, harta,

Air mata menunggu kering

Harapan yang hanya tinggal sejengkal

Hidup-Syahid di seberang mata

Mereka menangis

Mereka menjerit

Mereka memohon

Tapi tidak untuk terjerembab

Tapi untuk bangkit

untuk menang….

Save our Palestine!!!

Ciwaringin

oleh: Endang Supriadi

Ciwaringin Kaefahall….

Ciwaringin masihkah jati-jati berderet gersang sepanjang jalan menyambut langkah kawang santri anyar menuju gerbang ataukah seperti di mana-mana telah digantikan bangunan-bangunan bergaya Eropa dan pabrik-pabrik yang angkuh.

 

Ciwaringin masihkah lampu-lampu disepanjang jalan menyala menunggu para santri berdatangan ataukah seperti di mana-mana tak menyala gelap gulita tidak seperti bola-bola lampu disepanjang jalan perkotaan.

 

Ciwraingin masihkah beberapa santri menghafal ‘ilal di tengah rerumpunan jati dan senandung matan-matan Al-fiyah dan Amriti membuai nerdu ataukah seperti di mana-mana telah digantikan lagu-lagu melayu melalui transistor-tranasistor bawaan teknologi canggih masa kini.

 

Ciwaringin masihkah perdebatan pendalam dalam halqoh-halqoh musyawaroh menghidupkan malam-malam mu penuh semangat dan gairah ataukah di mana-mana diskusi-diskusi, seminar-seminar syarat istilah tanpa kelanjutan dinilai lebih bergensi dan bermodel.

 

Ciwaringin masihkah santri-santri bersama melaksanakan sholat setiap waktu memburu derajat-derajat ganjaran yang berlipat ataukah seperti di mana-mana semua orang tidak punya waktu memeburu saat-saat kesendirian untuk diri sendiri.

 

Ciwaringin masihkah penghuni-penghuni mu percaya pada percikan sama Mbah Amien, Mbah Hanan, Mbah Sanusi, Mbah Marzuki, Mbah Amrin Hanan, dan Mbah Serozi.Rohimahullah ataukah di mana-mana itu tidak mempunyai arti apa-apa kecuali dikenang sekali dalam acara Haul saja gegap gempita.

 

Ciwaringin masihkah namamu terasa berat ataukah justru sebaliknya.

Ciwaringin ……apa kabar???

 

Ciwaringin bagaimana kabar Mbah Amien, Mbah Sanusi dan Mbah Serozi.

Ciwaringin di mana-mana kini tersebar Mbah Hanan, merekalah yang mesti dalam ukuran lebih kecil ketika di sini mampu mengalahkan namamu.

 

Ciwaringin bagaimana di sini.

Ciwaringin aku rindu Kau………………

The Little Black Boy

My mother bore me in the southern wild,

And I’m black, but oh! my soul is white,

White as an angel is the English child,

But I am black, as if bereaved of light.

My mother taught me undernath a tree,

And sitting down before the heat of day.

She took me on her lap and kissed me,

And pointing to the east began to say:

“Look on the rising sun: there God does live.

And gives his light and gives his heat away,

and flowers and trees and beasts and men receive,

comfort in morning, joy in the noon day.

…………………( excerpt from William Blake poem)

Sahabat,

Sudah baca uisi di atas?

Memang perlu pengorbanan mbolak-balik kamus untuk mendapatkan arti teksnya. Puisi ini, secara sederhana merupakan gugahan bagi setiap manusia yang konon katanya mengagungkan sisi humanismenya. Jika, manusia tidak lagi membedakan antarsatu dengan yang lainnya, apalagi dengan menjadikan penampilan sebagai ukuran utama, maka perlu dipertanyakan, kemana ia taruh sisi human atau insaniah-nya?

Sempat berbicara dengan para sesepuh IMMAN Jogja, Pak Waryono dan Pak Iby, tentang bagaimana sebenarnya esensi dari konsep pembedaan antara sisi basyariah dan insaniah mereka. Hampir keduanya menjawab hal yang mirip: dengan ke-basyariahan-nya, manusia tak bedanya dengan makhluk Allah lainnya, binatang sekalipun, bahkan melebihi sifat ‘ganas’ binatang yang memang mempunyai karakter seperti itu. Tetapi, manusia pun punya satu sisi yang sekiranya dapat mengimbangi atau sebagai ‘partner’ sifat basyariah-nya. Insaniah. Sisi inilah yang dapt mempertegas bahwa sesungguhnya setiap manusia mempunyai sebentuk sisi humanisme di dalam dirinya. Tanpa ini, manusi tidak dapat membedakan dirinya dengan hewan, misalnya, karena hanya manusialah satu-satunya makhluk yang mempunyai sifat insaniah.

***

Puisi yang saya dapat ketika ujian tengah semester mata kuliah Introduction to Literature, sejak awal saya baca, telah menyihir sisi insaniah saya. Betapa tidak, dengan menjadikan anak kecil berkulit hitam sebagai objek, serta kesederhanaan kata yang dipakai, puisi yang ditulis Blake tersebut merupakan puisi yang sarat akan nilai moral.

Perbedaan warna kulit, yang sempat bahkan sampai saat ini pun menjadi ‘penghalang’ dalam menjalin relasi, menjadi fokus dalam puisi tersebut. Karena memang, puisi yang di tulis ketika The Middle Periode (periode tengah), adalah bentuk ‘jeritan’ yang tak garang, dari seorang anak berkulit hitam tentang betapa menyiksanya jika dia harus dibedakan dengan yang lain. Padahal, dengan yakin ia nyatakan bahwa, “And I’m black, but oh! my soul is white” (dan aku hitam, tapi oh! hatiku putih!).

Jika kita kembali mengingat sisi insaniah kita, betapa kita telah mendustai kodrat kita serta menodai kemurnian Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Kejinya politik ‘Apharteid’ yang menjamah Afrika Selatan, adalah contoh besar ketika manusia tidak sadar akan kodrat humanisnya.

Jika saja….ada seorang muslim yang berani membeda-bedakan antar manusia dari segi fisik, maka tak salah jika dia kita campur dia dengan saudara-saudaranya di hutan sana (sarkasme banget ya…). At least but not the last, tunjukkan bahwa kita adalah insan berhati nurani (bukan kampenye lho!), yang berusaha untuk tidak dimengerti, tapi mengerti akan apa yang orang lain rasakan. Putih, hitam, cantik, cakep, jelek, ah….itu semua hanya polesan saja! Kupas saja dalamnya seperti apa.

By,

Ukha Vaza